Sabtu, Januari 10, 2009

Pendidikan Karakter

Pendidikan sebagai sebuah sarana perubahan ke arah yang positif dalam diri manusia mempunyai peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan perubahan tatanan sosial dan peradaban di dalam kehidupan masyarakat. Dalam usaha menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang sehat dan dinamis, maka peran pendidikan sangatlah strategis. Sadar akan pentingmya pendidikan menjadi tolok ukur atas kemajuan pemikiran dan peradaban dalam suatu masyarakat.
Bila kita melihat kembali pengertian pendidikan menurut Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, maka kita mendapati bahwa pendidikan sangat menekankan tidak hanya pada ranah kogintif, namun lebih besar porsinya pada ranah afektif dan psikomotor. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan yang tidak hanya sekedar transfer of knowledge, namun lebih kepada transfer of value dan character building. Bahkan lebih rinci lagi, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia) memiliki nalar (maju, cakap, cerdas, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, berkemampuan berkomunikasi sosial (tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif, demokratis), dan beradab sehat sehingga menjadi manusia yang mandiri.1
Nilai-nilai di atas merupakan sebuah indikasi pentingnya pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Sebelum reformasi, pendidikan moral merupakan menu utama yang selalu ditanamkan pada setiap jenjang pendidikan. Dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP), yang merupakan buah pemikiran rezim orde baru, siswa diberi pelajaran tentang nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seorang warga Negara Indonesia yang memiliki Pandangan Hidup atau Ideologi Pancasila.
Dari kelima sila Pancasila yang tertuang dalam Preambule UUD 1945, pemerintah orde baru menurunkannya dengan tafsirannya sendiri menjadi Butir-Butir Pancasila atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang wajib diajarkan kepada setiap warga Indonesia melalui seminar dan penataran-penataran. Bahkan menjadi pelajaran wajib yang harus diikuti oleh siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.2 Lalu bagaimana hasilnya?
Nilai-nilai yang ada dalam butir-butir Pancasila menurut penulis tidak ada yang mengajak kepada keburukan. Bahkan semuanya sangat luar biasa bila dapat diimplementasikan dalam tindakan nyata. Namun mengapa bangsa ini tidak memiliki karakter yang jelas sebagaimana yang telah digambarkan dalam setiap pelajaran-pelajaran moral di dalam penataran-penataran P4?
Pertanyaan ini menjadi bahan diskusi panjang yang menurut penulis alasannya hanya satu, yaitu karena pendidikan moral dan penataran P4 hanya sekedar transfering knowledge of value, bukan bagaimana menanamkan nilai-nilai tersebut menjadi bangunan karakter dalam diri siswa. Pendidikan moral hanya sekedar mempelajari tentang apa itu moral, tentang perbuatan baik-buruk, dan tentang nilai-nilai kebaikan. Penataran hanya sekedar formalitas kenegaraan yang dipaksakan oleh pemerintah, sehingga wajar bila pendidikan moral seperti ini tidak menghasilkan apa-apa selain wacana dan pengetahuan saja.
Setelah reformasi, hiruk pikuk penataran P4 sudah tidak terdengar lagi. Reformasi juga telah mempengaruhi kebijakan pendidikan. Pendidikan Moral Pancasila dihapus. Materi P4 yang semula merupakan mantra wajib orde baru hilang tak berbekas lagi. Namun pengaruh dari pembelajaran yang hanya memperhatikan pengembangan kognitif dan materi yang diberikan secara hafalan dogmatis masih terasa sampai sekarang di kebanyakan sekolah di Indonesia. Sehingga pada akhirnya pola ajar tidak mengarah kepada pemahaman dan pembentukan karakter.
Pendidikan karakter dewasa ini menjadi bahan pembicaraan yang sangat hangat bagi praktisi pendidikan. Pendidikan karakter yang sebenarnya telah lama dicetuskan oleh pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966),3 menjadi semakin populer ketika berbagai teori pendidikan bermunculan dari teori Quantum Learning oleh Bobby D Porter, EQ (kecerdasan emosi) yang dipopulerkan oleh Goleman, juga ada SQ (kecerdasan spiritual) yang dibahas secara menarik oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, lantas ada pula kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang ditemukan Howard Gardner. Dimana semua teori tersebut memberikan ruang yang lebih luas terhadap jati diri manusia sebagai makhluk yang memiliki banyak kelebihan dibanding makhluk ciptaan Allah yang lain. Dengan kata lain teori-teori tersebut lebih memanusiakan manusia.
Pendidikan karakter semestinya mendapat porsi yang lebih banyak daripada mata pelajaran lain yang ada di sekolah. Menurut Azra, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan yang lebih luas (masyarakat).4
Membahas pendidikan karakter terasa tidak lengkap bila tidak melibatkan pakar ahli dalam masalah ini. Apalagi jika tidak melibatkan guru besar sekaligus pakar akhlak (baca: karakter) dari dunia Islam, yaitu Imam Khomeini. Imam Khomeini sangat layak digali pandangan-pandangannya dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan karakter dari perspektif pendidikan islam.
Sebagaimanan dikemukakan Ahmad, putra kinasih Imam Khomeini, ”Untuk mengungkap pendapat dan pemikiran Imam, kita harus mempelajari seluruh karya, pernyataan, dan maklumat beliau, serta melihat dengan jeli perjalanan hidup, prilaku, dan tindakan beliau. Kami sangat yakin, seluruh sikap, pengajaran, dan pendidikan Imam yang penuh dengan tingkah laku, perbuatan, dan tindakan politik, sosial, dan ibadah telah menunjukkan kepada kita tujuan-tujuan pendidikan Imam yang telah beliau gariskan. Menurut kami, itu merupakan hal terpenting yang harus diungkap ketimbang muatan yang terkandung dalam perkataan dan karya-karya beliau, mengingat hal itu tidak hanya mencakup masalah pendidikan dan pengajaran saja.”5
Berdasarkan hal tersebut, tampak Imam Khomeini memiliki keunggulan dalam pengetahuannya yang mendalam dalam masalah pendidikan karakter. Betapa Imam Khomeini tidak hanya mengajarkan pendidikan karakter namun juga memberikan tauladan bagaimana pendidikan karakter itu. Ahmad Khomeini sangat menekankan pentingnya mempelajari tidak hanya karya-karya beliau, namun juga tindakan Imam Khomeini sehari-hari, agar dapat mengetahui secara lebih komprehensif kepribadian dan apa yang sebenarnya ingin Imam Khomeini sampaikan dalam mendidik orang-orang dekatnya khususnya, dan kepada umat Islam pada umumnya.
Selain itu, Imam Khomeini juga seorang revolusioner ulung. Terbentuknya Republik Islam Iran menjadi saksi yang tak terbantahkan atas kemahiran Imam Khomeini dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam Khomeini juga dikenal sebagai pemikir, filsuf, arif atau sufi dalam sejarah hidupnya. Beliau juga politikus ulung yang tak gentar mengatakan ”tidak barat dan tidak timur”, sehingga beliau sangat ditakuti lawan dan sangat disegani oleh semua orang.
Keberhasilan revolusi Iran tidak akan jauh hubungannya dengan pendidikan yang diterapkan oleh Imam Khomeini, khususnya pendidikan akhlak. Imam Khomeini memberi porsi yang sangat besar, sehingga seolah-olah semua karya Imam Khomeini hanya menekankan pentingnya akhlak dalam proses pembelajaran sebagai modal dalam mengarungi kehidupan.
1 E. Mulyasa. 2006. Kurikulum Yang Disempurnakan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal. 20.
2 R. Marpu Muhidin Ilyas. 2007. Pendidikan Karakter:Isu dan Prioritas Yang Terlupakan. Makalah Isu-Isu Kontemporer Pendidikan Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal. 8
3 http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm
4 Prof. Dr. Azyumardi Azra. 2006. Paradigma Pendidikan Nasional. Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara. Hal. 173
5 Disampaikan dalam sebuah konferensi di Teheran, dalam rangka memperingati wafatnya Imam Khomeini, 1 Juni 1994

1 komentar:

  1. ingin artikel lengkap tentang pendidikan karakter, kunjungi blog saya di sini
    http://lpmpalmuhajirin.blogspot.com/2009/02/part-one-school-responsibility.html

    BalasHapus